Judul : Tragedi Kanso, Trauma Etnisitas Cina di Pariaman 1945
Penulis
: Armaidi Tanjung, S.Sos, M.A.
& Rabiah Al-Adawiyah Arni Putri
Pengantar : Dr. Hasanuddin, M. Si. Datuk
Tan Patih
Halaman :
xvi + 176
Cetakan I : Desember 2022
ISBN : 978-979-8833-65-6
Harga : Rp 70.000,-
Bagaimanakah
dengan tragedi kanso di Pariaman, sebagaimana dikemukakan dalam buku ini?
Penulis buku ini mencoba memetakan secara bijak tentang dinamika masyarakat
Kota Pariaman sejak enam abad yang lalu sampai kemerdekaan Republik Indonesia
1945 bahkan upaya rekonsiliasi setelah itu. Sang penulis dengan dukungan berbagai referensi ilmiah
memberikan gambaran Kota Pariaman sebagai pusat perdagangan internasional sejak
abad-16 dan berkembang menjadi Kota Multikultural (dengan penduduk asli
Minangkabau, Bangsa Arab, India, Eropa Belanda dan Inggris, Cina, dan lainnya
(Bagian I).
Etnis
Cina baru masuk pada penghujung Abad-16 dan awal Abad-17 sebagai saudagar lalu
memperoleh perlakuan istimewa oleh VOC sampai kewenangan menarik pajak
ekspor-impor. Komunitas Cina di Kota Pariaman terus bertambah sehingga mencapai
223 jiwa pada tahun 1852. Interaksi antar etnik terutama dengan penduduk asli
berlangsung dengan baik. Saudagar Cina di Kota Pariaman cukup sukses karena
ulet dan berbagai fasilitas khusus dari pemegang kekuasaan (dagang dan
pemerintahan). Dalam dinamika persaingan dagang, seorang pribumi Mek Saleh Muhammad Saleh Datuk
Rangkayo Basa (1841-1921) bahkan pernah bermitra baik dengan toke Cina, Tuan
Tjia Biauw.
Masa
Pemerintahan Kolonial Jepang (1942-1945) dinamika relasional antar etnik di
Kota Pariaman menanjak panas. Komunitas Cina tetap saja menjadi anak emas
pemerintah kolonial. Kesenjangan sosial kaya (Cina)-miskin (Pribumi) makin
menganga. Stratifikasi sosial yang terbentuk sejak masa Belanda tetap
menguntungkan orang Cina karena berada di level kedua setelah kaum kulit putih
(Eropa) sementara Pribumi ada pada kelas bawah. Undang-undang negara
mengukuhkan diskriminasi pemerintah kolonial terhadap Pribumi. Akibatnya,
hubungan mesra Cina-pribumi yang begitu lama dibangun lambat laun menumbuhkan
benih-benih permusuhan yang dalam istilah penulis “api dalam sekam” (Bagian
III).
Rentetan
peristiwa setelah itu, yakni: kekalahan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya,
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (17-08-1945), pemboncengan Belanda
melalui tentara Sekutu, dan perjuangan mempertahankan diri pejuang Kemerdekaan
Indonesia di Kota Pariaman mendorong upaya-upaya perebutan senjata dari tangan
tentara Jepang. Hal itu ternyata tidak mudah. Komunitas etnis Cina ternyata
tidak menunjukkan sikap keberpihakan terhadap pemertahanan Kemerdekaan Republik
Indonesia dan dicurigai menjadi mata-mata bagi tentara Jepang dalam
mengantisipasi pergerakan pemuda pejuang dan masyarakat Kota Pariaman. Puncak
dari semua itu adalah tragedi Kanso, sebagaimana ditulis dalam Bagian IV buku
ini.
Sebagai
sebuah tragedi dalam masa revolusi fisik, apalagi didasari oleh tindakan
pengkhianatan, sebagai mata-mata musuh, jelas “tragedi kanso” itu sulit untuk
dikatakan sebagai tindakan intoleran terhadap kelompok etnis Cina di Pariaman.
Pengkhianatan yang dilakukan oleh oknum dari komunitas Cina saat itu telah
menimbulkan banyak korban di pihak pejuang pribumi. Akibatnya, upaya pejuang
Republik untuk memperkuat diri dalam mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan
yang hendak berkuasa kembali (Belanda) mengalami hambatan sangat berarti.
Akhirnya, saya merekomendasikan buku ini dibaca tuntas. Terlepas
dari berbagai kelemahan yang ada, buku ini telah menghadirkan petaan histori,
dudukkan posisi, dan tatapan masa depan multikultual di Kota Pariaman,
Minangkabau, dan Indonesia pada umumnya yang harmoni. Saya ingin menyatakan
sekali lagi, bahwa kebinekaan atau multikulturalisme adalah ibarat sebuah mozaik
atau taman bunga yang asri, kebermaknaannya bukan pada kesewarnaan tapi justru
pada realitas warna-warni. Implikasinya, dalam keniscayaan toleransi demi
tatanan yang harmoni, keseragaman tidak dikehendaki, dan dinamika sosio
kultural kebinekatunggalikaan justru pada pemertahanan perbedaan dengan
penguatan jati diri.*