Judul : Sepetak Kamar Waktu
Penulis :
Kol Purn dr. Farhaan Abd, SpTHT-KL
Editor : Pipiet Senja
Lay
out : Pustaka Artaz
Penerbit
: Pustaka Artaz
Anggota IKAPI : 038/SB/2023
Cetakan I : April 2025
Halaman : xii + 134
ISBN : 978-979-8833-94-6
Harga : Rp
Bagi kritikus dan akademisi tentunya akan melihat puisi dalam kaidah normatif, tetapi saya memandangnya sebagai sebuah kreativitas bebas dalam menuliskan kata-kata. Saya melihat hal yang penting adalah jika pesannya sampai pada pembacanya, dibandingkan dengan keindahan rima atau metafora ambigu yang kadang hanya dipahami penyairnya sendiri. Bahkan ada juga penyair yang tak paham puisinya setelah membacanya beberapa tahun kemudian.
Memang puisi yang baik dan
benar mesti memenuhi beberapa kriteria, seperti memiliki tema dan judul yang
jelas, menggunakan diksi dan rima yang tepat, kaya metafora serta menggunakan
imajinasi. Namun, kali ini tak perlu kita bahas soal pilihan diksi, metafora
dan imajinasi pengarangnya. Bagi saya yang penting adalah jelas sekali pesannya
sampai pada kita. Jiwanya akan terasa hidup terutama bagi mereka yang memiliki
pengalaman batin yang sama. Barangkali ini pergeseran pemahaman saya tentang
puisi di era digital dan serba cepat ini.
Pengalaman batin sang penyair
terasa sangat dalam ketika kita renungkan. Di balik jeruji besi, kata-kata
menjadi pelarian. Puisi-puisi dalam buku ini adalah
refleksi dari kegelisahan dan keresahan seorang penyair yang terjerat dalam
sistem yang korup. Kisah ini adalah cerita tentang kesetiaan pada kebenaran,
meskipun harus membayar mahal dengan kebebasan. Semoga puisi-puisi ini dapat
menjadi pengingat bagi kita semua untuk terus berjuang melawan ketidakadilan
dan memperjuangkan kebenaran.
Farhaan
sebagai pemula di dunia sastra, patut kita berikan acungan jempol atas
produktifitas menulisnya. Sejak bergabung dengan SatuPena Sumbar ia terus
menuliskan perasaan, pikiran dan pengamatan terhadap dirinya dan lingkungan. Ia
terus belajar dan mengamati sekelilingnya. Ia tak ragu mengirimkan
puisi-puisinya di grup SatuPena. Tanpa sadar ratusan sudah puisi yang lahir
dari tangannya. Ia seperti tunas matang yang tertimpa matahari di tanah
yang tepat dan subur.