Judul : Minangkabau
Dalam Batin Penyair (Antologi Puisi Satupena Sumatera Barat)
Penulis : Abdullah
Khusairi - Armaidi
Tanjung – Gamawan Fauzi - Hasanuddin Datuk Tan
Patih - Ramli Jafar - Saunir Saun - Sri Wirdani – Yurmanovita - Yurnaldi
Pengantar : Denny JA
Penerbit : Pustaka Artaz
Halaman : xx + 216
ISBN : 978-979-8833-64-9
Cetakan I : Desember 2022
Harga : Rp 75.000,-
Membaca
puisi itu, di mata penyairnya, betapa Minangkabau sudah berubah. Betapa tanah yang dulu kuat dengan pepatah
“adat bersandi syarak, syarak bersandi Kitabullah,” sudah tak lagi sama. Bagaimana
adat kuat dijunjung jika “rumah gadangku sudah bolong?” Ditambah lagi “udara
busuk masuk ke dalam?” Bagaimana agama kuat dipegang jika “bunuh membunuh makin
biasa.” Dan “perbuatan asusila saban hari menghiasi media.”
Minangkabau
sebagaimana wilayah lain dilanda modernisasi. Dalam modernisasi, tak hanya
beton mengganti pohon. Tak hanya tiang listrik mengganti kerlap-kerlip kunang-kunang.
Tak hanya mall dan pabrik menggusur rumah penduduk. Nilai hidup juga berubah.
Nilai tradisi dari adat dan agama memudar. Sementara nilai kebajikan modern
yang dibawa oleh hak asasi manusia, demokrasi, lingkungan hidup, belum kuat
tertanam.
Publik
luas hidup dalam kultur transisi. Tidak lagi tradisional, tapi belum sepenuhnya
modern. Dalam masa transisi ini, terjadi
pergeseran nilai yang belum ideal. Penyair menangkap sisi gelap era transisi
itu.
Buku ini merupakan
buku pertama DPD Satupena Sumatera Barat yang diterbitkan. Buku antologi puisi
ini adalah karya terbaik sejumlah anggota Satupena Sumatera Barat. Ada sebanyak
104 puisi yang ditulis oleh sembilan penulis yang tergabung dalam anggota DPD
Satupena Provinsi Sumatera Barat. Masing-masing Abdullah Khusairi, Armaidi Tanjung, Gamawan Fauzi, Hasanuddin
Datuk Tan Patih, Ramli Jafar, Saunir Saun, Sri Wirdani, Yurmanovita, dan
Yurnaldi. Mereka dengan latar belakang yang berbeda, ada yang dosen/akademisi,
mantan birokrat/menteri/Gubernur Sumatera Barat, guru, pensiunan, karyawan
swasta dan wartawan tentunya.
-000-
Menengok
Minangkabau, lebih jauh lagi, mempelajari Sumatera Barat, kita berkelana pada
keindahan sejarah dunia literasi Indonesia. Sumatra Barat telah melahirkan
begitu banyak penulis besar. Hamka lahir
di sana, seorang penulis yang juga
seorang ulama. Asrul Sani dan Muhammad Yamin juga lahir di sana. Mereka berdua
tokoh yang mewarnai perjalanan sastra Indonesia.
Belum
lagi penulis yang juga sekaligus negarawan Indonesia: Mohammad Hatta, Sutan
Syahrir, Mohammad Natsir dan Tan Malaka. Mereka putra kandung Sumatra Barat
yang bahkan mewarnai perjalanan negara Indonesia. Sejak lama, Sumatra Barat
dikenal sebagai ibu kandung dunia literasi Indonesia. Tapi dimanakah ibu
kandung itu kini?
Benarkah
dunia literasi dan intelektual Sumatra Barat menurun? Mengapa dari Sumatra
Barat tak lagi lahir pemimpin intelektual sekelas Muhammad Hatta, Sutan Syahrir
dan Muhammad Natsir. Mengapa tak lagi terdengar sastrawan besar dari Sumatra
Barat sekelas Hamka dan Asrul Sani?
Sumatra
Barat telah berubah? Ia raksasa yang tengah tidur? Ataukah karena daerah lain
kini lebih cepat maju? Para akademisi dan sejarahwan dapat merespon pertanyaan
itu.
-000-
Buku
yang menampilkan puisi dari sembilan penulis anggota Satupena Sumatera Barat (Abdullah Khusairi - Armaidi Tanjung – Gamawan Fauzi
- Hasanuddin Datuk Tan Patih - Ramli Jafar
- Saunir Saun - Sri
Wirdani – Yurmanovita – Yurnaldi) ini diterbitkan oleh Perkumpulan
Penulis Indonesia Satupena Sumatra Barat. Saya mengucapkan selamat kepada Sastri Bakry yang memimpin Badan Pengurus
Satupena Sumatra Barat. Sejak awal sekali, Ibu Sastri Bakry sudah menunjukkan leadership, passion, vision tak hanya
selaku penulis, tapi juga selaku penggerak kebudayaan.
Di
tangan Sastri Bakry dan sahabat lain, apalagi bersinerji dengan tokoh daerah
seperti Gubernur Sumatra Barat, juga bapak Gamawan Fauzi, dan tokoh lain yang
tak bisa saya sebutkan satu persatu, Satupena Sumatra Barat akan membangkitkan
kembali provinsi ini sebagai ibu kandung para penulis besar. Satupena Sumatra
Barat diharapkan ikut menghidupkan kota dan desa di sana sebagai kota dan desa
literasi.
Buku
ini menjadi salah satu anak tangga membangunkan kembali Minangkabau. Bagi kita,
Minangkabau bukan “raksasa yang sedang
tidur.” Tapi Minangkabau adalah raksasa yang istirahat sejenak saja untuk
bangkit kembali. Demikian tulis Denny JA, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena dalam pengantarnya di buku ini. */R